PENDAHULUAN
Segala puji bagi Robb semesta alam yang
telah menunjuki kita semua kepada cahaya Islam dan sekali-kali kita tak
akan mendapat petunjuk jika Allah tidak memberi kita petunjuk, kita
mohon kepada-Nya agar kita senantiasa di tetapkan di atas hidayah-Nya
sampai akhir hayat sebagaimana difirmankan Allah Y :
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ [ (102) سورة آل
عمران
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dengan
sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
kecuali dalam keadaan Islam ( surat Ali Imran : 102)
Dan semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada
Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah r, yang telah
diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Wa ba’du.
Bila kita mengamati secara seksama realitas yang ada menjelang
berakhirnya setiap tahun Masehi, maka akan kita dapati sebuah perhelatan
akbar, Perayaan yang berisi hura-hura, kemaksiatan dan pemubaziran
dilakukan di hampir seluruh pelosok negeri, tidak oleh kalangan
muda-mudi saja tetapi juga oleh orang-orang tua. Pada tengah malam
menjelang pergantian tahun; berpesta pora, lelap dalam gegap-gempita
serta suara hiruk-pikuk musik yang menggila. Beramai-ramai dalam suasana
sesak, saling himpit dan bergaya dengan berbagai mode yang ada.
Dalam Islam, hanya dikenal tiga Hari Besar (’Ied) yang memang
disyariatkan untuk dirayakan dan dimeriahkan; dua bersifat tahunan,
yaitu ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha yang belum lama ini kita lalui.
Satu lagi, bersifat pekanan, yaitu Hari Jum’at. Selain tiga Hari Besar
ini, tidak dikenal peringatan dan perayaan hari besar lainnya, apalagi
bila perayaan itu identik dengan agama selain Islam.
Yang menjadi masalah kemudian adalah keterlibatan sebagian besar dari
umat Islam di dalamnya; Kenapa mereka ikut merayakan dan memeriahkannya
juga? Tidak tahukah bahwa perayaan itu khusus untuk non Muslim,
khususnya, kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi? Tahukah bahwa hal ini
bertentangan dengan ajaran agama?
Tentu kita amat prihatin dengan nasib umat yang semakin lama semakin
terkikis aqidahnya. Di berbagai negeri, kita dapati kaum muslimin
antusias juga menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga
walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu
pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif-
mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya
diperbolehkan?
Oleh karena itu, melalui tulisan kita akan mencoba melihat bagaimana
tuntunan agama kita menyikapi hal ini, semoga dengan pembahasan kali
ini, kita mendapat titik terang bagaimana sesungguhnya perkara yang satu
ini, apakah diperbolehkan atau HARAM??? Ya Allah, tunjukilah kami
kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan
izin-Mu-
DALIL-DALIL :
- 1. AL-QURAN
Surat Al-Mumtahanah : 1
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan
kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.” (QS. Al-Mumtahanan: 1)Surat Al-Baqarah : 130
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah
tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.Surat Al-Baqarah : 51
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء
بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang
siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (QS. Al-Baqarah: 51)
Surat An-Nisa’ : 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). |
- 2. HADITS
Anas bin Malik mengatakan,كَانَ لِأَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ
كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ
بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى“Orang-orang
Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap
tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian
memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah
menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri
dan Idul Adha.’”(HR. An Nasa-i no. 1556)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669) |
- 3. FATWA ULAMA :
Ibnul Qayyim rahimahullahdalam Kitab Ahkam Ahli Dzimmah, Jilid 1 Halaman 441 :
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل
أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد
ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه
بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب
الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه ، وكثير ممن لا قدر للدين
عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ،
أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka
seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’,
atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau
memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran,
namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat
hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan
selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan
seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat
pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan
selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama
terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui
kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa
memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau
kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441) |
Fatwa Al-Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ” Al Lajnah Ad Daimah menjawab,
لا تجوز التهنئة بهذه المناسبات ؛ لأن الاحتفاء بها غير مشروع
“Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan).”Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota. |
Syekh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin, Liqoatul Babil Maftuh, juz 112 halaman 6
حكم التهنئة برأس العام الجديد:
______________
السؤال: ما حكم التهنئة لبداية السنة, بما يفعله الناس كأن يقول أحدهم للآخر: كل عام وأنتم بخير ونحو ذلك؟
______________
الجواب: التهنئة برأس العام الجديد ليست معروفة عند
السلف, ولهذا تركها أولى, لكن لو أن الإنسان هنأ الإنسان بناءً على أنه في
العام الذي مضى أفناه في طاعة الله عز وجل فيهنئه لطول عمره في طاعة الله
فهذا لا بأس به, لأن خير الناس من طال عمره وحسن عمله, لكن هذه التهنئة
إنما تكون على رأس العام الهجري, أما رأس العام الميلادي فإنه لا يجوز
التهنئة به؛ لأنه ليس عاماً شرعياً بل إن هنئ به الكفار على أعيادهم، فهذا
يكون الإنسان فيه على خطر عظيم أن يهنئهم بأعياد الكفر, لأن التهنئة بأعياد
الكفر رضا بها وزيادة, والرضا بالأعياد الكفرية ربما يخرج الإنسان من
دائرة الإسلام, كما ذكر ذلك ابن القيم رحمه الله في كتابه أحكام أهل الذمة.
وخلاصة القول: أن التهنئة برأس العام الهجري تركها أولى بلا شك؛ لأنها
ليست من عهد السلف, وإن فعلها الإنسان فلا يؤثم, وأما التهنئة برأس العام
الميلادي فلا.
لقاءات الباب المفتوح – (ج 112 / ص 6)
Soal:Apa hukum ucapan selamat tahun baru yang dikerjakan oleh sebagian orang seperti seseorang mengatakan kepada lainnya: Sepanjang tahun semoga kalian dalam keadaan baik, dan semacamnya. Jawab: Ucapan selamat pada awal tahun baru tidak dikenal bagi salaf (generasi terdahulu dalam Islam), makanya lebih utama ditinggalkan, tetapi seandainya seseorang mengucapi selamat kepada orang lain dalam bentuk bahwa tahun yang telah lalu itu dihabiskan dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, lalu diucapi selamat karena panjang umurnya dalam ketaatan kepada Allah, maka ini tidak mengapa. Karena sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya. Tetapi ucapan selamat ini hanya khusus pada awal tahun Hijriyah. Adapaun awal tahun Miladiyah (Masehi) maka sesesungguhnya tidak boleh mengucapi selamat dengannya, karena ia bukan tahun syar’i, bahkan apabila orang-orang kafir diucapi selamat dengannya atas hari rayanya maka orang ini dalam keadaan bahaya besar kalau mengucapi selamat kepada mereka dengan hari-hari raya kekafiran. Karena ucapan selamat dengan hari-hari raya kekafiran itu berarti senang dengannya dan menambahi (kesenangan mereka), sedangkan senang dengan hari-hari raya kekafiran itu bisa-bisa mengeluarkan manusia dari lingkaran Islam, sebagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah. Ringkas kata, ucapan selamat pada awal tahun Hijriyah, lebih baik ditinggalkan, tak diragukan lagi. Karena hal itu bukan dari (kebiasaan) masa salaf (dahulu). Kalau dikerjakan oleh seseorang maka tidak berdosa. Adapun ucapan selamat pada awal tahun baru Miladiyah (Masehi) maka tidak boleh. (الشيخ محمد بن صالح العثيمين, Syekh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin, Liqoatul Babil Maftuh, juz 112 halaman 6). Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan pula,
تهنئة الكفار بعيد الكريسمس أو غيره من أعيادهم الدينية حرامٌ بالاتفاق
“Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama orang kafir adalah haram berdasarkan sepakat ulama” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 45). |
- 4. Falsafah Alam Minangkabau
Adat basandi Syarak.Syarak basandi Kitabulah.Syarak Mangato.Adat Mamakai.
Dima kain kabaju, Dijaik indaklah sadang, Lah takanak mangko diungkai. Dimalah nagari ndak kamaju, Adat sajati tu banalah nan hilang Dahan jo rantiang nan bapakai. Anak urang koto ilalang Nak lalu ka pakan baso Malu sopan jikok lah hilang Abih lah raso jo pareso Rarak Kalikih dek bindalu Tumbuah sarumpun ditapi tabek Kok habih raso jo malu Bak kayu lungga pangabek Kuaik rumah karano sandi Rusak sandi rumah binaso Kuaik bangso karano budi Rusak budi hancualah bangso |
Demikianlah dalil-dalil menjelaskan kepada kita, baik dari
Al-Quran, Hadits, Fatwa Ulama bahkan Falsafah Adat Minangkabau pun tak
luput menerangkan kepada kita betapa pentingnya kita memperhatikan
persoalan yang sangat urgent ini, Perayaan Tahun Baru apakah sesuai
dengan adat urang Minang??. Sekarang mari kita coba lihat bagaimana asal
muasal perayaan tahun baru masehi ini, bagaimana dampak akibat yang
dapat ditimbulkannya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
“Sesungguhnya Perayaan Tahun Baru adalah
Perayaan Orang-orang Kafir, yang mana telah kita ketahui, HARAM bagi
kaum muslimin untuk ikut terlibat mensyi’arkan dan menyemarakkan
perayaan orang-orang kafir baik secara sengaja maupun tidak disengaja.”
Banyak yang beranggapan bahwa perayaan tahun baru adalah urusan
duniawi yang tidak ada kaitannya dengan akidah. Padahal secara historis,
perayaan tahun baru Masehi tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan
ritual penyembahan dewa Janus dalam agama paganisme (agama kafir
penyembah berhala):
“The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New
Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of
gates, doors, and beginnings. The month of January was named after
Janus, who had two faces – one looking forward and the other looking
backward” (The World Book Encyclopedia, 1984, volume 14 hlm. 237).
(Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari
permulaan tahun baru semenjak abad ke-46 SM. Orang Romawi
mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang,
pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama
Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya
menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu).
Dalam mitologi Romawi, Dewa Janus adalah sesembahan kaum Pagan
Romawi. Bulan Januari (bulannya dewa Janus) ditetapkan setelah Desember
karena Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari di mana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari banyaknya pengaruh Pagan pada tradisi Kristen.
Kaum Pagan pandai menyusupkan budaya mereka ke dalam budaya agama
lain. Ini terbukti dengan tradisi mereka bertahun baru yang sudah
populer diikuti di berbagai belahan dunia. Misalnya, tradisi kaum Pagan
merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api
unggun, menyalakan kembang api, bernyanyi bersama, memukul lonceng dan
meniup terompet.
Ke dalam agama Kristen, tradisi pagan ini diadopsi dengan menjadikan
hari Dewa Janus tanggal 1 Januari menjadi Tahun Baru Masehi, sehingga
muncullah pemisahan masa sebelum Yesus lahir pun (Sebelum Masehi/SM) dan
sesudah Yesus lahir (Tahun Masehi/M).
Di Persia yang beragama Majusi (penyembah api), tanggal 1 Januari
juga dijadikan sebagai hari raya yang dikenal dengan hari Nairuz atau
Nurus. Dalam perayaan itu, mereka menyalakan api dan mengagungkannya,
kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai,
bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka
dengan air dan minuman keras (khamr). Mereka berteriak-teriak dan
menari-nari sepanjang malam. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan
kerusakan.
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai
dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun
baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak
dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan
Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan,
‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang
Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu
hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” HR. An Nasa-i no. 1556
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum
muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar
meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini
adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar
perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan
sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum
muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
- Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
- Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
- Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
- Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
- Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari
kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu
termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di
samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang
lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena
menyerupai orang kafir. -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang
Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik
dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ
قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ
أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ
وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ
لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh
lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob
(lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa
tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan
Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan
berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini
adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah
terjadi saat-saat ini.”
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai
model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang
setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk
pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian,
penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil
Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang
kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara
orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada
malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia,
mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.
Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada
manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh.
Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa
tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual
kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika
itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan
meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi
dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang
penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu
Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi)
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir
dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim
memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini
tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi
ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang
kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka
seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’,
atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau
memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran,
namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat
hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan
selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan
seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat
pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan
selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut.
Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang
mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada
seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas
mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk
menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini
diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari,
kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang
kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak
mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi
hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah
kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu
bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa
itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin
tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib
(shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain,
zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.”
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang
mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar.
Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti
orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput
darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya
sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi,
celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[ Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan
kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu.
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[
HR. Ahmad] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan
tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari
amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[
HR. Muslim no. 1163] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat
yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa
mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk
berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika
seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya.
Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh
adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[ HR. Bukhari no. 568]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin
melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat
shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul
orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah
kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur
lelap?!” Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu
yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur
baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan
mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan
kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang
berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang
terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan
muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan
kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini
suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah
dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah
dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina
kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau
mengingkari yang demikian.”[ HR. Muslim no. 6925]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan,
terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu
kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu
orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal
mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[ HR. Bukhari - Muslim]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah
dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya
dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al
Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti
walaupun itu hanya menyakiti seekor semut. Perhatikanlah perkataan yang
sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja
dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan
perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam
waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang
pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala
hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru
sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang
yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap
orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah
sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta
yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan,
kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb.
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah
menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan,
“Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang
benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang
menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang
keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan,
“Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam
berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk
berbuat kerusakan.”[ Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu
sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal
yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [HR. Tirmidzi.]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah
bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan
waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat.
Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang
telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan
tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan
ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya.
Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah
cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang
kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah
mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil
yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari
menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[ Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru.
Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan
satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim
tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya
merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang
bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan
banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang
sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan
berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia.
Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih
baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah
semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan
seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah
keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah
petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku
masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Demikianlah pembahasan ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.
Demikianlah pembahasan ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.
Wallahu a’lam.
Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihi wa sallam.
Rujukan :
- Al-Quranul Kariim
- Ibnu Katsir, Kitab Tafsir “Al Qur’an Al ‘Azhim”
- Kitab Hadits Shahih Bukhari
- Kitab Hadits Shahih Muslim
- Pepatah Petitih Alam Minangkabau
- Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam Ahli Dzimmah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H
- Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
- Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
- Syekh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin, Liqoatul Babil Maftuh,
- Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)
- Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, 10 Kerusakan Perayaan Tahun Baru Masehi , artikel
- Ust. Hartono Ahmad Jaiz, Sejumlah Hujjah Larangan Ikut Perayaan Natal dan Tahun Baru, artikel
- Ust. Muhammad Elvi Syam, Lc. MA, Suluah Minang , 30-12-2012 M, Radio RAY FM 95.1 MHz Padang (LIVE)
- Ust. Faisal Abdurrahman, Lc, Suluah Minang , , 30-12-2012 M, Radio RAY FM 95.1 MHz Padang (LIVE)
- http://muslim.or.id
- http://almanhaj.or.id
- http://rumaysho.com
DOWNLOAD KAJIAN :
Sumber :
0 comments:
Post a Comment