Selamat Datang di Catatan Harian Hermanto Deli El-Faraby..

Peringatan Isra' Mi'raj dalam Timbangan Syari'at

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab. Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan sebenarnya  terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’ Mi’raj? Simak  pembahasannya
dalam tulisan yang ringkas ini.

Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى  
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18. [1]

Kisah Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini  disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى. وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan 16 shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku Jibril  ‘alaihis salaam dengan membawa bejana berisi  khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis salaam  meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan  Idris alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan  Harun ‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketujuh dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
 Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam.  Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini. Terdapat pula tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di atas.

Kapankah Isra` dan Mi’raj?
Ketika mendengar sebuah peristiwa besar, mestinya ada satu pertanyaan yang akan segera timbul dalam hati si pendengar yaitu masalah waktu terjadi. Begitu pula kaitannya dengannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam .
Kapan sebenarnya Isra’ dan Mi’raj terjadi, benarkah pada tanggal 27 Rajab atau tidak?  Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Padahal, para ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian kisah ini.
Untuk bisa memberikan jawaban yang benar, kita perlu melihat pendapat para ulama seputar masalah ini. Berikut kami nukilkan beberapa pendapat para ulama, yaitu:
1.    Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqaalaniy Rahimahullah [2] berkata: “Para ulama berselisih tentang waktu Mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian. Ini pendapat yang aneh, kecuali kalau dianggap terjadinya dalam mimpi. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi setelah kenabian. Para ulama yang mengatakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah kenabian juga berselisih, diantara mereka ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah. Ini pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Imam An Nawawiy dan Ibnu Hazm, bahkan Ibnu Hazm berlebihan dengan mengatakan ijma’ (menjadi kesepakatan para ulama’) dan itu terjadi pada bulan Rabiul Awal. Klaim ijma’ ini tertolak, karena seputar hal itu ada perselisihan yang banyak lebih dari sepuluh pendapat.” [3]
Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu. [4]
ñ Pendapat pertama mengatakan: “setahun sebelum hijroh, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Ini pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan An Nawawiy
ñ Kedua mengatakan: “delapan bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Rajab”. Ini isyarat perkataan Ibnu Hazm, ketika berkata: “Terjadi di bulan rajab tahun 12 kenabian”.
ñ Ketiga mengatakan: “enam bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Romadhon”. Ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.
ñ Keempat mengatakan: “sebelas bulan sebelum hijroh tepatnya di bulan Robiul Akhir”. Ini pendapat Ibrohim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata: “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum hijroh”. Pendapat ini dirojihkan Ibnul Munayyir dalam syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr.
ñ Kelima mengatakan: “setahun dua bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbar.
ñ Keenam mengatakan: “setahun tiga bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.
ñ Ketujuh mengatakan: “setahun lima bulan sebelum hijroh”. Ini pendapat As Suddiy.
ñ Kedelapan mengatakan: “delapan belas bulan sebelum hijroh, tepatnya dibulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdilbar.
ñ Kesembilan mengatakan: ” Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnul Atsir
ñ Kesepuluh mengatakan: “lima tahun sebelum hijroh”. Ini pendapat imam Az Zuhriy dan dirojihkan Al Qadhi ‘Iyaadh.
2.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
”Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isra’ Mi’raj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya. ”Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.”  (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula beliau juga mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rajab (perayaan Isra’ Mi’raj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rajab atau perayaan hari ke-8 Syawal dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
3.    Ibnu Rajab mengatakan,
”Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
4.    Abu Syamah mengatakan, ”Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
5.    Ibnul Haaj mengatakan, ”Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
6.    An Nahaas rahimahullah [5] Beliau berkata, “Peringatan malam Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah besar dalam agama dan kebid’ahan yang dibuat oleh teman-teman Syaithon.”(lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal 279)
7.    Ibnul Haaj. [6] Beliau berkata, “Diantara kebid’ahan yang mereka buat pada bulan Rajab adalah malam dua puluh tujuh yang merupakan malam Isra’ dan Mi’raj “(lihat Al bida’ Al Hauliyah hal. 275, menukil dari Al Madkhal 1/.294.)
            Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra` dan Mi’raj tidak diketahui secara pasti pada kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj bukanlah suatu hal yang penting. Lagipula, tidak terdapat  sedikitpun faedah keagamaan dengan mengetahuinya. Seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan.

Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
1.  Menerima berita tersebut.
2.  Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
3.  Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7]
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.  Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha). [8]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.

Hikmah Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa  Isra`, yaitu:
1.  Perjalanan  Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit,  seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami.  Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2.  Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka. [9]

Faedah Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :
1.  Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
2.  Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam
3.  Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
4.  Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1) Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.
5.  Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul I’tiqad “… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau mengalaminya dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak mengingkari mimpi” [10]
6.  Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…” [11]
7.  Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah  tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
8.  Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.
9.  Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
10  Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
11  Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
12  Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
13  Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
12  Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
13  Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
14  Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta dijelaskan padanya kebenaran.

Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj? Berdasarkan dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan perkara bid’ah, karena dua alasan :
1.  Malam Isra` Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya. Banyaknya perselisihan di kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar tentang waktu terjadinya. Jika waktu terjadinya saja tidak disepakati, bagaimana mungkin bisa dilakukan perayaan Isra’ Mi’raj?
2.  Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Seandainya perayaan tersebut adalah bagian dari syariat Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau dan para sahabat  mengerjakannya atau menyampaikannya, maka ajaran tersebut akan sampai kepada kita.
Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal tersebut,  maka perayaan Isra’ Mi’raj  bukan bagian dari ajaran Islam. Jika dia bukan bagian dari agama Islam, maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.

Berikut di antara  fatwa-fatwa ulama dalam masalah ini :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’ Mi’raj yang terjadi di Sudan. Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin setiap tahun,  Apakah perayaan tersebut memiliki sumber dari Al Qur’an dan As Sunnah atau pernah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin atau pada zaman tabi’in? Berilah petunjuk kepadaku karena saya bingung dalam masalah ini. Terimakasih atas jawaban Anda.”
Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Perayaan seperti itu tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak pula pada zaman Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada dalam Al Qur’an  dan sunnah rasul-Nya justru menolak perbuatn bid’ah tersebut karena Allah Ta’ala mengingkari orang-orang  yang menjadikan syariat bagi mereka selain syariat Allah termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّه
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syuura:21)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari Allah dan rasul-Nya maka amalan tersebut tertolak “.
Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah Jum’at melalui sabda beliau :
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah  dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.” [12]

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baaz rahimahullah [13] :
“Tidak disangsikan lagi, Isra’ mi’roj merupakan tanda kebesaran Allah Ta’ala yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ketinggian derajat Beliau disisi Allah Ta’ala . Sebagaimana Isra’ dan Mi’raj termasuk tanda-tanda keagungan Allah dan ketinggianNya atas seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَا الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al Isra’ : 1)
Dan telah telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa Beliau diangkat ke langit dan dibukakan pintu-pintunya sampai Beliau melewati langit yang ketujuh. Lalu RobNya berbicara kepadanya dengan sesuatu yang dikehendakinya dan diwajibkan padanya sholat lima waktu. Allah Ta’ala pertama kali mewajibkan padanya lima puluh sholat, lalu senantiasa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam meminta keringanan sampai dijadikan lima sholat. Itulah lima sholat yang diwajibkan tapi pahalanya lima puluh, karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Allah k zat yang harus dipuji dan disyukuri atas segala nikmatNya.
Tidak ada dalam hadits yang shohih penentuan malam terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Semua hadits yang menjelaskan penentuan malamnya menurut ulama hadits adalah hadits yang tidak shohih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala memiliki hikmah dalam melupakan manusia tentangnya. Seandainya ada penentuannya yang absahpun kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan satu ibadah tertentu, tidak boleh mereka merayakan peringatannya, karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya tidak memperingatinya dan tidak pula mengkhususkan ibadah tertentu padanya. Seandainya peringatannya adalah perkara yang disyariatkan, tentunya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menjelaskannya kepada umatnya, baik dengan ucapan atau perbuatan Beliau. Seandainya pernah dilakukan niscaya akan iketahui serta akan dinukilkan oleh para sahabatnya g kepada kita. Karena mereka telah menyampaikan segala sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak melalaikan urusan agama ini sedikitpun, bahkan mereka berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan.
Maka seandainya peringatan malam Isra’ dan Mi’raj disyariatkan niscaya mereka orang pertama yang melakukannya, apalagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang yang sering menasehati umatnya. Beliau telah menyampaikan risalah agama sebaik-baiknya serta telah menunaikan amanah yang diembannya. Maka seandainya mengagungkan dan memperingati malam tersebut termasuk ajaran agama, maka tentunya Beliau tidak melalaikan dan menyembunyikannya.
Karena Nabi tidak mengagungkan dan memperingati malam tersebut, maka jelaslah peringatan dan pengagungan malam tersebut bukan termasuk ajaran Islam.
Begitulah Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan nikmat untuk umatnya serta mengingkari orang yang menambah-nambah syariat Islam dengan sesuatu yang tidak diizinkanNya. Allah berfirman dalam Al Qur’an
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al Maidah : 3)
Demikian juga dalam firmanNya
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy Syura :21)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits-hadits yang shohih telah memperingatkan bahaya bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat. Untuk memperingatkan umat ini dari besarnya bahaya bidah dan untuk menghindarkan mereka dari membuat bid’ah. Kami akan sampaikan beberapa hadits, diantaranya hadits yang shohih dalam shohihain dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , Beliau bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
dan dalam riwayat Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak. (Riwayat Muslim).
Dan dalam shohih Muslim dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah pada hari jum’at dan mengatakan:
أَمَا بَعْدُ فَإِِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ama Ba’du; sesungguhnya sebaik ucapan adalah kitabullah dan sebaik contoh adalah contoh petunjuk Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam , sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang dibuat-buat, dan setiap kebidahan adalah sesat.
Dalam sunan dari Al Irbaadh bin Saariyah Radhiallahu’anhu , beliau berkata
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menasehati kami dengan nasehat yang mendalam, hati bergetar dan mata meneteskan airmata. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam seakan-akan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat!. Lalu beliau berkata: “aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah ,patuh dan taat, walaupun kalian dipimpin seorang budak, karena siapa yang hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnahnya para khulafa rasyidin yang memberi petunjuk setelahku. Berpeganglah kalian dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian serta hati-hatilah dari hal yang baru, karenasetiap hal yang baru itu bidah dan setiap kebidahan itu sesat. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah).
Dan banyak hadits yang lain yang semakna dengan ini.
Demikian juga peringatan dan ancaman dari perbuatan bid’ah telah ada dari sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para salaf sholih setelah mereka. Karena perbuatan bid’ah adalah penambahan dalam agama dan syariat yang tidak diizinkan Allah Ta’ala serta meniru-niru kaum Yahudi dan Nashroni musuh Allah. Melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menuduh Islam tidak sempurna. Dengan demikian jelas menimbulkan kerusakan dan kemungkaran yang besar, karena Allah telah menyatakan kesempurnaan agama ini melalui firmanNya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (QS. Al Maidah 3)
Perbuatan bid’ah juga secara terang-terangan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memperingatkan dan mengancam kebid’ahan.
Mudah-mudahan apa yang telah kami jelaskan dari dalil-dali tersebut cukup memuaskan pencari kebenaran dalam mengingkari dan mengingatkan kebidahan ini- yaitu peringatan malam Isra’ dan Mi’raj -. Sesungguhnya dia bukanlah dari syariat Islam sedikitpun. [14]


Fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh rahimahullah [15] dalam jawaban beliau atas undangan yang disampaikan kepada Robithoh Alam Islamiy untuk menghadiri salah satu peringatan Isra’ dan Mi’raj setelah beliau ditanya tentang hal itu. Lalu beliau menjawab,”Ini tidak disyariatkan, dengan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunnah, Istishhab dan akal”.

Dalil Al Qur’an
Firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridha Islam itu jadi agamamu. (QS. Al Maidah : 3)
dan firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’ 59)
kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al Quran, kembali kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam maksudnya merujuk ke Sunnahnya setelah beliau meninggal dunia.
Demikian juga firmanNya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Imran: 31)
dan firmanNya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
maka orang-orang yang menyalahi perintah-Nya hendaklah mereka takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur: 63)
Dalil Sunnah
Pertama : Hadits shahih dalam shohihain dari Aisyah z bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim),
dan hadits shahih dalam Kitab Shahih Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak kami perintahkan maka dia tertolak (Riwayat Muslim).
Kedua: Hadits riwayat Ibnu Majah, At Tirmidziy dan dianggap shohih oleh beliau serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya dari Irbaadh bin Saariyah Radhiallahu’anhu , beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Hindarilah hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bidah.
Ketiga: Riwayat Ahmad, Al bazaar dari Ghadhiif bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
مَا أَحدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ رَفَعَ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah kecuali dihilangkan sepertinya dari Sunnah. Dan diriwayatkan oleh Ath Thabraaniy akan tetapi dengan lafadz:
مَا مِنْ أُمَّةٍ ابْتَدَعَتْ بَعْدَ نَبِيِّهَا إِلاَّ أَضَاعَتْ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidak ada umat yang melakukan kebidahan setelah nabinya kecuali dihilangkan sunnah seukuran bid’ahnya.
Keempat: Riwayat Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Allah tidak akan menerima amalan pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya.
Dan dalam riwayat Ath Thabraniy dengan lafadz
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya.
Dalil Istishhaab
Hal ini tidak ada dasar perintahnya. Pada dasarnya, ibadah itu tauqifiyah, sehingga tidak boleh kita mengatakan, “Ibadah ini disyariatkan” kecuali ada dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, dan tidak boleh pula mengatakan, “Ini diperbolehkan karena termasuk dalam maslahat mursalah, istihsaan (anggapan baik), qiyas (analogi) atau ijtihad” karena permasalahan aqidah, Ibadah dan hal-hal yang telah ada ukurannya (dalam Syariat) seperti pembagian warisan dan pidana adalah perkara yang tidak ada tempat bagi ijtihad atau sejenisnya.
Dalil Akal
Jika perayaan Isra’ dan Mi’raj bertujuan untuk mengagungkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri, kita katakan, “seandainya hal ini disyari’atkan, tentunya Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan orang pertama yang melaksanakannya”.
Jika perayaan itu untuk mengagungkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengenang perjuangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seperti pada maulid Nabi, maka tentulah Abu Bakr Radhiallahu’anhu adalah orang yang pertama melakukannya , lalu Umar, Utsman, Ali, kemudian orang-orang setelah mereka. Disusul kemudian oleh para tabiin selanjut para imam. Padahal tidak ada seorangpun dari mereka yang diketahui melakukan hal tersebut meskipun sedikit. Maka cukuplah bagi kita untuk melakukan apa yang menurut mereka cukup.”[16]
Beliaupun berfatwa di dalam fatawa wa rasail beliau, “Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara batil dan satu kebidahan. Ini termasuk sikap meniru-niru orang yahudi dan nashrani dalam mengagungkan hari yang tidak diagungkan syari’at. Pemilik kedudukan tinggi Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam lah yang menetapkan syariat. Dialah yang menjelaskan halal dan harom. Sementara para khulafa’ rasyidin dan para imam dari para sahabat dan tabiin tidak pernah diketahui melakukan peringatan tersebut.” Kemudian berkata lagi, “Maksudnya perayaan peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah. Maka tidak boleh bekerjasama dalam hal tersebut.”[17]

Demikianlah keterangan para ulama seputar hukum merayakan peringatan Isra’ dan Mi’raj. Keterangan yang cukup jelas dan gamblang disertai dalil-dalil yang kuat bagi pencari kebenaran. Kemudian masihkah kita melakukannya, padahal peringatan tersebut satu kebidahan dan bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan itu merupakan penambahan syariat dalam Islam dan menyerupai kelakuan ahli kitab yang telah membuat bid’ah dalam agama mereka, sehingga menjadi rusak dan hancur.
Mudah-mudahan Allah meudahkan kita untuk memahami tulisan ini dan mudah-mudahan Allah menolong kita dalam menjalankan ketaatan kepadaNya dan untuk meninggalkan perayaan yang telah menghabiskan harta dan tenaga yang banyak akan tetapi justru merusak agama dan amalan kita semua.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang al-amin (yang terpercaya) dan memiliki sifat amanah. Dengan sifat inilah, beliau telah menyampaikan seluruh risalah dan syari’at Allah subhanahu wata’ala kepada umat ini dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali pasti telah beliau ajarkan kepada umatnya. Dan tidak ada satu kejelekan pun, kecuali pasti telah beliau peringatkan dan beliau larang umatnya untuk mengerjakannya.
Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj itu bagian dari risalah dan syari’at Allah subhanahu wata’ala, pasti beliau telah ajarkan kepada umatnya. Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj ini amalan yang baik, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para shahabatnya adalah orang-orang pertama yang mengadakan acara tersebut. Demikian pula para ulama generasi berikutnya yang mengikuti dan meneladani mereka, semuanya akan mengadakan perayaan-perayaan khusus untuk memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga acara peringatan Isra’ Mi’raj, dalam bentuk apapun acara tersebut dikemas, merupakan amalan bid’ah, sebuah kemungkaran, dan perbuatan maksiat karena:
1.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya.
2.   Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, dan yang lainnya rahimahumullah.
3.  Para ulama yang datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan yang lainnya rahimahumullah, hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka semua tidak pernah merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum muslimin untuk mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyari’atkannya peringatan Isra’ Mi’raj.
4.  Kenyataan yang terjadi jika perayaan ini benar-benar diadakan, yaitu munculnya berbagai kemungkaran, di antaranya:
·         Terjadinya ikhtilath, yaitu bercampurbaurnya antara laki-laki dan perempuan.
·         Dilantunkannya shalawat-shalawat yang bid’ah dan bahkan sebagiannya mengandung kesyirikan.
·         Didendangkannya lagu-lagu dan alat musik yang jelas haram hukumnya.
5.  Mengganggu kaum muslimin. Di antara bentuk gangguan itu adalah:
·         Terhalanginya pemakai jalan atau minimalnya mereka kesulitan ketika hendak melewati jalan di sekitar lokasi acara, karena banyaknya orang di sana.
·         Suara musik dan lagu yang sangat keras pada acara terebut, juga mengganggu tetangga dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi acara. Orang yang telah lanjut usia, orang sakit, maupun bayi-bayi dan anak-anak kecil yang semestinya membutuhkan ketenangan, mereka terganggu dengan adanya suara musik yang sangat keras tadi.
6.  Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan shalat berjama’ah di masjid, bahkan yang lebih parah kalau sampai meninggalkan shalat fardhu. Ketika acara dimulai ba’da shalat Isya’ misalnya, sejak sore banyak yang sudah stand by di tempat acara. Mulai dari penjual-penjual dengan aneka barang dagangannya, pengunjung acara, sampai panitia acara pun, mereka lebih memilih berada di ‘pos-pos’ mereka daripada masjid ketika dikumandangkannya adzan maghrib dan isya’. Wal ‘iyadzubillah.
Semestinya umat ini dibimbing untuk kembali kepada agamanya. Mereka sangat antusias menyambut dan menghadiri acara peringatan Isra’ Mi’raj, namun mereka belum memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Sebuah peristiwa dan mu’jizat besar yang saat itulah kewajiban shalat lima waktu ini diberlakukan kepada umat Islam. Suatu musibah jika salah satu rukun Islam ini dilalaikan hanya karena ingin ‘menyukseskan’ acara yang sudah pasti menelan biaya yang tidak sedikit tersebut.
Hendaknya cukup perkataan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menjadi pelajaran bagi kita :

مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا

“Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebid’ahan dalam agama Islam ini, dan dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), maka segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari agama.”
Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala hidayah untuk senantiasa berpegang teguh dengan Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sampai akhir hayat nanti. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Footnote :
[1] Lihat Syarh Lum’atil I’tiqaad li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 58-59
2 Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad Al Kinaaniy Al Asqaalaniy, seorang ulama besar dalam hadits dan fiqih, pengarang kitab Fathul Bariy Syarah Shahih Bukhari, meninggal tahun 852 H.
3 Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/203.
4 ibid
[5] Beliau bernama Abu Zakariya Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad Ad Dimasyqiy, dikenal dengan Ibnu Nahaas, seorang ulama besar yang meninggal dalam perang menghadapi Perancis tahun 814 H.
[6] Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al Haaj, Abu Abdillah Al “Abdariy Al Faasiy, meninggal tahun 737 H.
[7] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 444
[8] Lihat Syarh Al Ushuul Ats Tsalatsah li Syaikh Shalih Fauzan 201
[9] Lihat  Syarh Al ‘Aqidah  Ath Thahawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 451-452
[10] Lihat dalam Syarh Lum’atil I’tiqad li Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 58
[11] Matan ‘Al Aqidah Ath Thahawiyah
[12] penggalan dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin  rahimahullah dalam Fatawa Nuur ‘alaa Ad Darb. Diakses dari http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_675.shtml)
[13] Beliau bernama Abdulaziz bin Abdillah bin Abdirrahman bin Baaz, dilahirkan tahun 1330 H di Riyadh. Beliau seorang alim besar abad ini dan menjadi mufti agung Kerajaan Saudi Arabia menggantikan Syeikh Muhammad bin Ibrahim Ali Asy Syaikh sampai meninggal tahun 1420 H.
[14] Lihat catatan kaki kitab Fatawa Lajnah Daimah 3/64-66.
[15] Beliau bernama Muhammad bin Ibrahim bin Abdillathif bin Abdirrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahaab, dilahirkan di Riyadh tahun 1311 H dan meninggal di bulan Ramadhan 1398 H. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Rabithah Alam Islamiy, Rektor Jami’ah Islamiyah dan Mufti agung kerajaan Saudi Arabia sebelum Syaikh Ibnu Baaz.
[16] Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 276-279 menukil dari Fatawa wa Rasail Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim 3/97-100.
[17] Ibid 3/103.

Sumber :

0 comments:

Post a Comment