Selamat Datang di Catatan Harian Hermanto Deli El-Faraby..

Kedudukan Kitab Fadhilah Amal (1)


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Puji syukur kita persembahkan kehadirat Allah Subhanahu wa taala,
dan Shalawat dan salam buat junjungan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Baiklah, sahabat blogger semua..
Selamat Berpuasa, semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT, dan semoga nantinya
usai Ramadhan, moga2 kita menjadi orang2 yang bertakwa.
Amiin.

Sahabat, melihat perkembangan Islam saat sekarang ini, telah banyak terjadi kesalahan-kesalahan, kekeliruan, kebingungan, perpecahan yang tak kunjung habisnya.
sehingga yang muncul adalah konflik disana sini dan sebagainya.
dan setiap konflik yang terjadi, pihak2 yang terlibat saling mengklaim kebenaran.
nah, dari sinilah saya bermaksud untuk mencoba meluruskan kembali mana kebenaran yang sesungguhnya, berdasarkan Al-Quran, Hadits dan Pemahaman para Shahabat.
itulah Ahlus Sunnah wal jamaah, pemahaman Islam yang benar dalam Manhaj Shalafush Shalih.
Berbicara tentang kitab2 yang menjadi pegangan kita dalam beramal, haruslah kitab2 yang telah diakui kebenarannya, benar dalil-dalilnya, benar sumber dan sanadnya. dan tidak bertentangan dengan Nash-nash yang shahih.
Sebab kalau bertentangan, maka kitab-kitab tersebut..tidak bisa dijadikan pegangan dan pedoman dalam Islam.

Sebagai contohnya adalah "Kitab Fadhilah Amal" karya Syaikh Muhammad Zakariyya AI Kandahlawi.
Siapa yang tidak mengenal "Jamaah Tabligh", kelompok yang ‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid besar kemungkinan akan mengetahui Kitab Fadha`il Al-A’mal buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersama kedudukan kitab itu di sisi mereka setara dengan Kitab Shahih .
Membicarakan Fadha`il Al-A’mal kitab yangg ditulis Syaikh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikut kini semakin menjamur di berbagai negara termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh. Ada hubungan yang erat di antara kedua karena Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan rutinitas harian mereka baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu atau menjadikan sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukan secara rutin. Hal ini menunjukkan demikian penting peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi . Sebab apa yg mereka dengarkan tentu akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.
Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasannya.
Kitab ini selain telah tersebar di kalangan mereka juga di kalangan masyarakat luas, padahal kitab tersebut memuat hal-hal yang menyimpang dari syariat. Lantaran itu banyak ulama yang menyingkap penyimpangan­nya agar kaum muslimin berhati-­hati. Di antaranya adalah :
  • Ustadz Muhammad Aslam Al-Bakistani (Pakistan) dalam risalah Jama’atut Tabligh, ‘Aqidatuha wa Afkaru Masyayikhiha.
  • Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah dalam kitab Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh
  • Ustadz Sa`d Al-Husain, Atase Arab Saudi di Yordania dalam risalahnya kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
  • Syaikh Falih Al-Harbi dalam Ad-Dienun Nashihah.
  • Syaikh Shalahuddin Maqbul Ahmad dalam Zawabi’ fi Wajhis Sunnah Qadiiman wa Hadiitsan, bab Penjelasan Sebagian Kitab yang Sarat dengan Hadits-Hadits Dha’if dan Palsu
  • Syaikh Abu Usamah Sayyid Thalibur Rahman dalam Jama’atut Tabligh fi Syibhil Qaratil Hindiyyah, ‘Aga’iduhata’rifuha cet. Dar Bayan li Nashr wat Tauzi’ Islamabad Pakistan
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri berkata,“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkan sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India maupun bangsa lain yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah dan khurafat serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya kitab ini merupakan kitab jahat sesat dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikan sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatan, melariskan serta menghiasi di hadapan kaum muslimin awam sehingga mereka lebih sesat jalan dari hewan ternak.”(Al-Qaulul Baligh hal. 11-12).
Adapun secara rinci maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:
Pertama, Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya
Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasa di mana kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semua boleh dijadikan sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikan sebagai keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia tidak diterjemahkan pula takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan simpatisannya ketika membaca kitab tersebut tidak dapat membedakan antara hadits-hadits yang bisa diterima dan yang tertolak.
Kedua, Hadits Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya
Di samping poin pertama yang kami sebutkan di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu bahkan tidak ada asal usulnya dalam kitab-kitab sunnah. Padahal Rasulullah telah melarang umat untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkan kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah bersabda:
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduk dalam neraka.” (H.R Bukhari)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah palsu dan tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah bersabda: Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkata-kata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengucapkannya maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari).
Ketiga, Memuat Khurafat dan Hikayat Sufiyah
Kitab ini banyak sekali menukil afkar kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah dan semisalnya. Oleh karena sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah dan Qadiriyyah.
Contoh yang paling aneh, cerita yang dinukil dari Al-Hawi karya As­-Suyuthi, bahwa Sayyid Ahmad Rifa’i berziarah ke makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai berhaji tahun 555 H, lantas menyenandungkan bait syair :
Di kala jiwaku menjauh, akau ,kirimkan dia
Diterima oleh kubur (Nabi) dan dia adalah wakilku.
Ini orang yang menjulurkan tangannya telah hadir
Julurkan tangan kananmu agar dikecup kedua bibirku
Maka terjulurlah tangan beliau dari dalam kuburnya yang mulia lalu dicium oleh Ar-Rifa’i.
Syaikh Muhammad Zakariya menambahkan dari kitab Bunyan Musyayyad, bahwa peristiwa tersebut dihadiri oleh sembilan puluh ribu orang. Dihadiri pula oleh wali Quthub Syaikh Abdul Qadir Jailani. (Fadhail Hajj 137­-138, akhir basal sembilan, hikayat no.13)
  • Syaikh Al-Kandahlawi bermimpi diperintah untuk menggabungkan qasidah (syair) ke dalam kitabnya Fadhailush Shalat ‘ala Nabi. Terlintas pada pikirannya yang dimaksud adalah qasidah Maulana Jaami. Qasidah ini merupakan bentuk istighatsah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bait pertama isinya :
    Karena berpisah denganmu nafas terakhir seluruh alam berembus
    Rahmatilah wahai Nabi Alloh, rahmttillah
    Usai itu menuturkan, suatu kali Maulana Jaami berhaji. Dia ingin pergi ke Madinah untuk menyenandungkan qasidah ini di sisi kubur Nabi. Nabi memerintahkan penguasa Makkah dalam mimpinya agar melarang Maulana Jaami pergi ke Madinah. Sebabnya, bila dia bersyair di sisi kuburku maka tanganku akan keluar dari kubur untuk menyalaminya, hal itu akan menimbulkan fitnah.”
    Kata Kandahlawi, “Aku yakin adanya kisah ini, namun aku tidak mengetahui di mana letaknya. Siapa yang tahu hendaknya memberitahukanku. Bila aku sudah mati hendaknya menuliskan pada catatan pinggir kitab ini. “Katanya lagi, “Tidak ada yang dapat membatalkan kisah ini karena kisah Sayid Ar-Rifa’i sudah dikenal. Telah berlalu pula penyebutan dalam kitab ini kisah lain berupa jawaban salam dengan suara yang keras dari makam Nabi yang mulia. Beberapa temanku berpendapat, pembenar dari mimpiku adalah qasidah burdah ini.” Syaikh banyak menyebutkan bait syair berikut ini sampai lima puluh kali dalam Fadhail Shalat.
    Wahai Rabb, berilah shalat dan salam yang langgeng kepada kekasihMu, manusia terbaik. (Fadhail Shalat `ala Nabi ha1.109-119 kisah no.50)
  • Syaikh Abul Khair Al-Aqtha’ bertutur, “Dulu aku pernah kelaparan selama lima hari, tidak makan sesuatu pun. Usai bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidur di Raudhah yang suci sebagai tamu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bermimpi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua syaikh ; Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu disertai Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangiku. Beliau memberiku roti lantas aku makan separuhnya. Ketika aku terbangun separuh roti itu masih ada di tanganku.” (Fadhail Hajj ha1.133)
  • Syaikh Syamsuddin Ash­-Shawwab, mantan kepala pelayan Masjid Madinah, bercerita, “Sekelompok orang dari Halb (Syiria) menyogok penguasa Madinah agar diizinkan mem­bongkar kubur Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk dibawa jasadnya. Malam hari empat puluh orang datang disertai para pembantu mereka. Tiba-tiba mereka semua ditelan bumi. Penguasa Madinah berkata kepada Ash-Shawwab, “Engkau jangan sekali-sekali membuka rahasia ini, kalau tidak kupenggal kepalamu!” (Fadhail Hajj ha1.141)
Dan masih banyak khurafat, kebatilan, bid’ah, cerita dongeng dan takhayul lainnya. Penukilan-penukilan seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini dan mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah. Seperti kitab Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq Al-Adab dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin karya Al-Imam An-Nawawi Al-Kalim atau Bulughul Maram karya Karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dan masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.
(bersambung)
Oleh :
Abu Nu’aim Al-Atsari rahimahullah
Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
Sumber : Majalah Al Furqon. Srowo, Sidayu, Gresik, Jatim. Edisi 1 Tahun V / Sya’ban 1426 H

2 comments:

Anonymous said...

satu lagi salafi sok tau...

Anonymous said...

http://ari-alwaikewaki.blogspot.com/2012/05/melepas-kedok-jamaah-tabligh.html ini yg benar

Post a Comment